Maaf Cintamu Ditolak

Sabtu, April 11, 2015 Unknown 0 Comments


Gambar daripada Google Image

Ini ialah kisah yang menunjukkan bagaimanakah cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Kisah Barirah dan Mughits

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِى ، وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لِعَبَّاسٍ « يَا عَبَّاسُ أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا » . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْ رَاجَعْتِهِ » . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِى قَالَ « إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ » . قَالَتْ لاَ حَاجَةَ لِى فِيهِ
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang hamba yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah, -pent). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah, “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!” Barirah mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’).” Barirah mengatakan, “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya” (HR. Bukhari no. 5283)

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan,

ذَاكَ مُغِيثٌ عَبْدُ بَنِى فُلاَنٍ – يَعْنِى زَوْجَ بَرِيرَةَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَتْبَعُهَا فِى سِكَكِ الْمَدِينَةِ ، يَبْكِى عَلَيْهَا
Itu adalah Mughits, hamba milik bani fulan, dia adalah suami dari Barirah. Mughits terus membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasihan dari Barirah.” (HR. Bukhari no. 5281).

Dari ‘Aisyah, ia menceritakan,

اشْتَرَيْتُ بَرِيرَةَ فَاشْتَرَطَ أَهْلُهَا وَلاَءَهَا ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَعْتِقِيهَا ، فَإِنَّ الْوَلاَءَ لِمَنْ أَعْطَى الْوَرِقَ » . فَأَعْتَقْتُهَا ، فَدَعَاهَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَخَيَّرَهَا مِنْ زَوْجِهَا فَقَالَتْ لَوْ أَعْطَانِى كَذَا وَكَذَا مَا ثَبَتُّ عِنْدَهُ . فَاخْتَارَتْ نَفْسَهَا
Aku pernah membeli seorang hamba bernama Barirah. Lantas pemilik sebelumnya menyaratkan hak wala’ padanya (artinya: artinya warisan jadi milik pemiliknya yang dulu, bukan pada orang yang memerdekakannya). Aku pun menceritakan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau berkata, “Bebaskanlah Barirah. Hak wala’ tetap jadi milik orang yang memerdekakan.” Aku pun memerdekakan Barirah. Setelah merdeka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah lalu memberikan hak pilih kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus hamba. Barirah mengatakan, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta aku tidak mau menjadi isterinya”. Barirah memilih untuk tidak lagi bersama suaminya.” (HR. Bukhari no. 2536).

Adapun kisah tentang pembebasan Barirah oleh ‘Aisyah disebutkan dalam hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (hamba wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.

Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504).

Pelajaran 
1- Hamba itu tidak sekufu alias setara dalam pernikahan dengan orang merdeka. Oleh karena itu saat merdeka, Barirah memiliki hak untuk memilih (khiyar) antara tetap bersama Mughits yang masih jadi budak ataukah berpisah untuk mencari suami yang lain.

2- Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu memelihara jenggotnya. Di antara mereka adalah Mughits sehingga dikatakan bahwa air mata Mughits itu membasahi jenggotnya. Sehingga orang yang demikian benci dengan jenggotnya sampai-sampai dikerok secara berkala adalah orang yang tidak mau meneladani para sahabat Nabi dalam masalah ini bahkan tergolong tidak mau taat kepada Nabi yang memerintahkan umatnya untuk memelihara jenggot. Seorang laki-laki itu akan semakin gagah dan berwibawa mana kala memelihara jenggot. Dikatakan bahwa Abu Hurairah suatu ketika pernah berkata,

إن يمين ملائكة السماء والذي زين الرجال باللحى والنساء بالذوائب
Sesungguhnya ucapan sumpah para malaikat yang ada di langit adalah kalimat demi zat yang menjadikan seorang pria itu makin tampan dengan jenggot dan menjadikan perempuan semakin menawan dengan jalinan rambutnya” (Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir tahqiq Abu Said Umar bin Gharamah al ‘Amrawi, juz 36 hal 343, terbitan Darul Fikr Beirut tahun 1416 H)

3- Saran atau nasihat Nabi itu berbeda dengan perintahnya. Saran Nabi untuk orang tertentu itu hasil finalnya kembali kepada pilihan orang tersebut. Sedangkan perintah Nabi itu adalah sesuatu yang harus ditaati tanpa ada pilihan yang lain.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya perkataan orang-orang yang beriman, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memberi keputusan hukum di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar, dan Kami patuh”. Dan hanya merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. An Nuur: 51).

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

4- Kisah di atas menunjukkan bahwa cinta itu terkadang bertepuk sebelah tangan. Dalam kisah di atas nampak sekali besarnya rasa cinta Mughits kepada Barirah namun Barirah demikian benci kepada Mughits.

5- Cinta itu tidak harus memiliki. Terkadang rasa cinta tidak harus berujung dengan pernikahan yang langgeng. Lihatlah kandasnya cinta Mughits dan sebuah kenyataan pahit harus ditelan oleh Mughits yaitu tidak bisa lagi memiliki Barirah.

6- Kisah di atas juga menunjukkan bahwa cinta yang berlebihan itu bisa menghilangkan rasa malu sehingga menyebabkan pelakunya melakukan berbagai hal yang sebenarnya memalukan.

7- Rasa benci tidak mesti dari dua pihak, boleh saja yang satu benci dan yang satu malah menginginkan cintanya. Namun umumnya hati itu akan saling benci dan saling cinta.

8- Mughits adalah hamba kulit hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

كَانَ زَوْجُ بَرِيرَةَ عَبْدًا أَسْوَدَ يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ
Ada suami dari Barirah, seorang hamba kulit hitam yang bernama Mughits.” (HR. Bukhari no. 5282)

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarh Bulughil Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1435 H.
Diselesaikan 18 Jumadats Tsaniyyah 1436 H, di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com

0 comments: